Sabtu, 18 Mei 2013

That Day at The Window



Ketika kita menjadi anak-anak, kita akan bertemu dengan orang lain….
Ketika kita mengenalnya, dan mulai berbicara dengannya, kita akan menjadi temannya.
Dalam hidup ini kita tidak pernah ditakdirkan untuk sendiri, bahkan mulai kita dilahirkan di dunia ini. Pada mulanya, kita dilahirkan di sebuah keluarga, dengan ayah dan ibu yang menyayangi kita. Kehadiran kita di keluarga begitu disambut, kita dibelai dengan lembut, dan diberikan segala sesuatu yang terbaik untuk kita, yang tidak dinilai berdasarkan nominal, rupa, ataupun ukuran. Namun, yang telah diberikan untuk kita merupakan wujud kasih dan sayang dari orang tua kita, dan itu merupakan tanda bahwa keluarga kita peduli dengan kita.
Saat kita menjadi temannya, kita akan mengenalnya lebih dekat….
Kita akan mengenal dirinya, kesehariannya, dan hal yang nampak pada umumnya, seiring dengan berjalannya waktu, semakin jelas kita melihat teman kita…
Waktu…
Ia akan menampakkan apa yang tersembunyi dalam diri seorang teman, mengenai kesukaannya, ketidak sukaannya, ketakutannya akan sesuatu, masa lalu, impiannya, dan hal kecil yang sering tidak muncul ketika kita mulai mengenalnya.
Saat itu kita akan dihadapkan pada dua pilihan, tetap menjadi temannya, atau pergi darinya…
Jika kita memilih pergi darinya karena beberapa perbedaan kita akan merugi, kita tidak akan mendapat kesempatan untuk berbagi pikiran dengannya, kita tidak lagi dapat saling mengenal hal baru diluar diri kita, dan kita hanya akan mengenal diri kita dan apa yang melekat pada kita..
Jika kita lebih memilih kesamaan, kita akan kehilangan arah..
Karena kita hanya melihat diri kita, kita hanya akan dikelilingi oleh hal-hal yang kita inginkan, dan kita akan selalu menghilangkan apa yang tidak kita senangi, membuang jauh yang kita benci..
Maka kita hanya akan mendapati diri kita sendiri, meskipun kita pada mulanya tidak sendiri. Akankah terdapat kehidupan dalam diri kita jika kita hanya memiliki apa yang kita ingini ?
Teman……
Siapapun dia, bagaimanapu dia, kita memerlukannya…
Untuk hidup, untuk warna, untuk senyuman, dan untuk air mata….
Seandainya kita dapat menerima teman, dan kita dapat memahaminya apa adanya, kita akan dihadapkan pula pada dua pilihan…
Stop sampai disini sebagai teman,
atau
Next untuk menjadi sahabat….
Sahabat……
Demikian mudah untuk diucapkan, dan mudah pula untuk didengar, namun begitu rumit dan sulit untuk menjadi sahabat.
Sahabat adalah seseorang yang selalu menemani kita, teman untuk berbagi cerita, teman untuk berbagi senyuman, air mata, teman yang ada dalam sepenggal perjalanan hidup kita..
Ketika seorang sahabat menangis, kita tidak boleh mengangis, kita harus tetap tegar untuknya dan tetap tersenyum untuk membahagiakannya..
Ketika sahabat kita bahagia, kita tidak boleh menangis, kita harus ikut bahagia dengannya, dan memberinya selamat atas kebahagiaannya saat itu, serta mendo’akan kebahagiaannya agar selalu hadir.
Sampai hari ini aku melihat beberapa orang yang mengatakan “aku dan dia bersahabat” namun pada akhirnya mereka tetap berpisah seolah-olah mereka hanyalah teman yang tidak pernah menjadi teman yang dekat. Apakah sahabat semudah itu melepaskan ikatan pertemanan yang erat ?.. sering kali kita melihat setitik noda hitam diatas kertas yang putih tanpa kita menyadari warna putih kertas yang begitu banyak. Demikian halnya dengan sesorang, ia akan melihat kesalahan dari seseorang meski hanya sedikit dan sebenarnya tak sebanding dengan kebaikan yang telah diberikan. Seorang sahabat akan berbaik hati untuk bersikap baik pada lainnya, mengingatkan jika perbuatannya menyimpang atau melukai orang lain, membicarakan hal yang baik, menutupi aib, jujur didepan dan apa adanya. Namun, benarkah jika persahabatan dapat selesai begitu saja hanya karena kesalahan yang hanya sekali terjadi, bahkan tidak sebanding dengan kebaikan yang telah ia berikan…
Sahabat seharusnya tidak saling menyakiti, tidak membohongi,  tidak menusuk dari belakang, dan tidak akan pernah menjadi sandungan bagi jalan sahabatnya. Jika seorang sahabat telah menyakiti, membohongi, bahkan menusuk dari belakang sahabatnya, apakah itu dapat diktakan sebagai sahabat ? seandainya memang ada sesuatu yang harus disembunyikan, sebaiknya seorang sahabat mengatakan bahwa ada yang ia sembunyikan dan tidak perlu diketahui, maka tidak akan ada saling curiga…
Jenuh…..
Jika memang kejenuhan menjadi sesuatu yang membuat kerusakan dalam tali persahabatan, kenapa tali itu tidak dilonggarkan, dan untuk sejenak kita benar-benar sendiri, karena dengan sendiri kita dapat merefleksikan diri dan introspeksi atas apa yang telah kita lakukan.
Seiring bejalannya waktu, dikala perpisahan telah hadir, semua yang telah lalu akan menjadi sesuatu yang manis, dan akan menjadi memori yang indah meski pahit yang dilalui. Perpisahan mungkin memang seharusnya datang, dan sahabat akan saling merangkul untuk terakhir kalinya, perpisahan yang mungkin terjadi karena waktu, dan sahabat manapun yang menghadapinya akan bersedih, karena semua cerita mengenai persahabatan akan sulit dilakukan lagi.
Perpisahan karena jarak, waktu, dan tempat….